Jejak kekristenan di Indonesia  adalah rubrik yang juga ingin kita buat di Buletin Kasih. Melalui rubrik ini penulis ingin menyampaikan perjuangan kekristenan di Indonesia yang dilakukan oleh anak-anak bangsa sendiri dan di banyak case bahkan bertentangan dengan pemikiran pemerintah penjajahan Belanda saat itu. Tulisan ini juga untuk membuat kita bisa membumikan iman kita tanpa harus menduakan TUHAN kita.

Kisah Kyai Sadrach ini kita angkat karena kisah ini menarik, beliau menjadi Kristen karena pencarian beliau sendiri walau tidak dipungkiri pertemuan dengan mantan gurunya Pak Kurmen yang menjadi Kristen mempengaruhi keputusan beliau untuk mengikuti. Pertemuan dengan Kyai Tunggul Welung yang diatur Pak Kurmen membuat Sadrach atau Radin Abas menjadi semakin yakin. Belajar Teologia dari Mr Anthing di Jakarta membuat beliau semakin yakin dan bersedia di Baptis.

Perjalanan pelayanan seorang Sadrach Muda juga dimulai di desa Bondo suatu desa yang dibuka oleh kyai Tunggul Welung tetapi Sadrach yang memulai melayani dan menata daerah baru ini. Setelah Kyai Tunggul Welung kembali ke desa itu Sadrach muda menyerahkan pemerintahan desa ke Kyai Tunggul Welung dan beliau memilih pindah ke Desa Karangyoso di daerah Purworejo. Daerah yang terkenal dengan kuasa gelap nya ini menjadi daerah yang baik buat Kyai Sadrach menunjukan kuasa TUHAN lebih daripada kuasa semua penguasa dunia. Desa inipun menjadi desa Kristen dan dalam pelayanannya Kyai Sadrach sempat membabtis 20.000 orang dari Purwokerto sampai Magelang dan Jogja, bahkan banyak pihak yang menyatakan perjalanan penginjilan Kyai Sadrach mencakup hampir seluruh Jawa Tengah dan beliau mengkristenkan orang jawa lebih banyak daripada misi Zending yang dibiayai penjajah.

Pelayan Kyai Sadrach banyak diliputi gossip ttg sinkretisme antara Kristen dan kejawen serta tidak mengerti hakikat ortodoksi kekristenan. Tapi Pendeta Willeam seorang pendeta Belanda yang melayani di Gereja Kyai Sadrach menyaksikan bahwa Kyai Sadrach punya dasar pengakuan ”Aku adalah abdi Tuhan Yesus Kristus. Beliau adalah Perantara dan Guruku” . seharusnya jika tidak ada perebutan pengaruh antara Kyai Sadrach dan Misi Zending kekristenan bisa menyebar lebih luas di Jawa. Tetapi karena urusan kekuasaan dan politik maka pelayanan Kyai Sadrach menghadapi hambatan dari saudara seiman sendiri.

Kyai Sadrach memang memasukan unsur adat dalam tata gerejanya, tetapi ini hanya sebatas upaya beliau membumikan ajaran kekristenan dengan adat yang berlaku di daearah tersebut. Ini mirip dengan yang dilakukan Sunan Kalijaga, hanya Kyai Sadrach melakukan sesuai iman Kristen. Kyai Sadrach juga memikirkan bagaiman solusi untuk Pemimpin Gereja yang ketahuan mengikuti pesta Tayub, anggota gereja yang masih suka melakukan praktek perdukunan atau menikah lagi atau bagaimana jika ada pertobatan dari seseorang yang memiliki istri dua dll. Semua masalah yang ada di masyarakat dijabarkan secara luas dan menurut kami ini cara yang sangat bijaksana. (Untuk detil silahkan mengikuti kutipan beberapa tulisan ttg Kyai Sadrach dibawah).

Kyai Sadrach juga sangat tegas dengan kuasa gelap dan mengusir setan ini juga merupakan s alah satu keahlian beliau. Kuasa gelap adalah satu masalah umum yang terjadi di gereja yang ada di pedesaan dan mungkin sampai saat ini, dimana manusia lebih percaya sama setan daripada Tuhan. Keterikatan dengan kuasa Gelap adalah salah satu pelayanan utama yang dilakukan Kyai Sadrach dan membebaskan seseroang dari ikatan kuasa Gelap membuat murid beliau semakin hari semakin ebrtambah dan punya dasar Kekristenan yang kuat yaitu pengalaman merasaka kuasa TUHAN. Kristen yang punya pengalaman iman seperti ini biasanya lebih kuat daripada Kristen yang ikut-ikutan atau menjadi Kristen karena pengetahuan semata. Pengalaman iman membuat jemaat ini punya dasar yang kuat dan menjadi berani untuk menyatakan tidak tergantung pada bantuan dana dari misi Zending. Kristen MARDIKO adalah nama komunitas mereka yang mungkin bahkan menginspirasi tumbuhnya gerakan kemerdekaan yang lebih luas di Negara jajahan Hindia Belanda ini. Jauh sebelum Budi Utomo, maka Kyai Sadrach sudah menamakan komunitas kristennya adalah Kristen JAWA MARDIKA. Kristen yang benar-benar merdeka untuk menentukan arah dan tujuannya sendiri sesuai dengan kebenaran Firman TUHAN dan kebutuhan jemaat di tempat mereka berada.

Dalam perjalanan Imannya Kyai Sadrach harus meninggalkan zona nyaman dari keluarga kaya yang mengangkatnya dari kehidupannya sebagai pengemis kecil, dia kembali harus meninggalkan zona nyaman di Desa Bondo dan merantau ke daerah baru karangjoso bahkan beliau sempat dipenjara oleh Belanda karena kekerasan hatinya dalam mempertahankan kepercayaan. Kekerasan keyakinannyalah , kerelaan hatinya dan penyertaan TUHAN dalam pelayanannya yang membuat kekristenan umum ditemukan dan tersebar merata di semua daerah di Jawa Tengah.

Terlepas dari semua cerita negative tentang ajaran beliau maka selayaknya kita bisa menghargai dan meneladani beliau dan kesungguhan dalam menjalankan panggilan TUHAN.  Kami yakin TUHAN berikan kebijakan terhadap anak-anak yang dipanggil dalam menentukan setiap keputusan dari pilihan yang ada. Semua keputusan itu diuji bukan oleh manusia tetapi TUHAN akan menunjukan nya. Tidak hanya di akhir jaman tetapi juga melalui perjalanan waktu dan saat ini kita sudah meliaht buah-buah pelayanan dan dasar kekristenan yang diajarkan oleh beliau.

Semoga kumpulan Tulisan tentang perjalanan Kyai Sadrach berikut bisa membuat iman kita semakin kuat dan membuat kita semakin bangga sebagai orang Kristen. Karena kekristenan kita tidak hanay dibangun atas dasar pengorbanan Kristus di kayu salib tetapi juga kesediaan anak-anak TUHAN yang dipanggil dari kegelapan untuk melayani TUHAN. Pertanyaan untuk kita sekarang apakah kita berani berkata Ya ini aku TUHAN dan pakai aku , jika TUHAN panggil kita. Atau kita akan mencari alasan untuk menolak panggilan itu.

Selamat mengikuti rangkaian sejarah perjalanan kyai Sadrach dibawah ini yang merupakan kumpulan tulisan di Internet tentang beliau :

 

 

 

 

Sekelumit Jejak, Kyai Sadrach di Pedukuhan Karangjoso,

(http://arkeologi.web.id/articles/memori-dan-catatan-perjalanan/311-sekelumit-jejak-kyai-sadrach-di-pedukuhan-karangjoso-kecamatan-butuh-purworejo)

PURWOREJO, - Gereja Kyai Sadrach konon merupakan bangunan Gereja Kristen Jawa tertua di Jawa Tengah yang sarat keunikan. Mendekat ge banguna Gereja Kyai Sadrach memang mirip seperti gaya arsitektur Islam yang umum terdapat di Indonesia, yakni pola bangunan masjid tradisional di Jawa (joglo). 

Bangunan Gereja Kyai Sadrach pada dasarnya menyerupai pola bangunan masjid tetapi bukan seperti pada umumnya (tidak memiliki kubah). Namun, Gereja Kyai Sadrach memiliki atap tumpang tiga dan juga memiliki ruangan yang berbentuk bujursangkar dilengkapi empat tiang induk yang akrab disebut saka guru. 

Jika melihat korelasi antara gaya arsitekturnya, bisa saja ada keterkaitan tokoh Kyai Sadrach selaku pendiri gereja itu. Pasalnya begitu nampak unsur-unsur budaya Islam, Jawa dan Kristen pada arsitektur Gereja Kyai Sadrach ini. 

Namun, terlepas dari itu secara historis Gereja Kyai Sadrach merupakan sebuah peninggalan sejarah yang sangat tinggi. Berdiri diantas tanah seluas sekitar 1 hektare di Pedukuhan Karangjoso itu, peninggalan Kyai Sadrach lainnya juga terbilang masih lengkap tersimpan. 

"Diantaranya padepokan Kyai Sadrach yang didirkan sekitar tahun 1970. Kemudian, bangunan gereja dengan mama "Greja Kristen Jowo Mardiko" konon nama itu cukup bernuansa politis antara pendirinya (Kyai Sadrach) dengan pihak Belanda pada waktu itu," ungkap Ketua Majelis Gereja Kyai Sadrach Purwanto, 54, kemarin. 

Dikatakan Purwanto, selain bangunan gereja, rumah dan padepokan. Sebuah wisma jemaat juga sudah dibanguan tepatnya pada tahun 1994. Dan peninggalan lainnya, masih tersimpan didalam rumah Kyai Sadrach. "Seperti tempat tidur, meja dan kursi makan yang digunakan Kyai Sadrach. 

Bahkan arsip-arsip penting milik Kyai Sadrach termasuk surat dari Ratu Belanda," imbuhnya. 

Bicara ketokohan, Purwanto menjelaskan, Kyai Sadrach tidak ubahnya seperti Sunan Kalijaga dalam Islam. Dikatakan, Secara kontekstual pewartaan (penyampaian ajaran) Kristen yang dilakukan Kyai Sadrach juga menggunakan fondasi budaya jawa, yakni tanpa mencabut akar budaya Jawa termasuk seperi hitungan jawa, prosesi adat, ubo rampe (perlengkapan) layaknya digunakan oleh orang Jawa. 

"Jika Sunan Kalijaga menyebarkan agam Islam salah satunya dengan wayang. Kyai Sadrach banyak menggunakan tembang khusunya untuk doa, dan bagi saya pribadi sebagai umat Kristen bisa lebih mengena, salah satu doa dilantunkan dengan tembang Pucung (tembang Jawa) rasanya lebih menyentuh hati," ucapnya. 

Purwanto bercerita, Kyai Sadrach masuk ke Dukuh Karangjoso sekitar tahun 1869. Sebagai seorang pendatang dari kalangan ningrat asal Kediri, Kyai Sadrach dalam mendalami ilmu menyamar menjadi Radin (orang yang sejajar dengan rakyat jelata). 

Dituturkan, Kyai Sadrach seperti banyak diceritakan dalam buku memang sempat mempelajari berbagai macam ilmu, diantaranya ilmu jawa (kejawen) dan juga sempat mengkhatamkan Islam hingga mendapat nama muslim yakni Abas. 

"Suatu ketika Kyai Sadrach bertemu dengan seorang Belanda yang mampu menunjukan wisik (bisikan hati) yang diterima Kyai Sadrach. Ditunjukanlah, bahwa wisik yang diterima Kyai Sadrach sama dengan surat didalam Injil tepatnya Yohanes 11 ayat 25. Kyai Sadrach akhirnya masuk Kristen," terangnya. 

Purwanto menambahkan, sampai sekarang di padepokan Kyai Sadrach setiap hari, khususnya hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon (hitungan jawa) cukup banyak didatangi para jemaat. Diungkapkan, sedikitnya ada 77 wilayah tempat di pulau Jawa yang sempat disinggahi Kyai Sadrach dan Pedukuhan Karangjoso inilah tempat terakhir Kyai Sadrach mengakhiri pewartaannya (penyebaran ajaran). 

"Jadi cukup banyak jemaat yang datang kesini, kalau Kyai Sadrach sendiri meninggal pada tanggal 15 November 1924 pada usia sekitar 90 tahun. Dimakaman di Desa Mbabrik, Wareng, Kecamatan Butuh, Purworejo," terangnya. 

Kyai Sadrach juga diyakni telah membaptis sekitar 20.000 jiwa hingga akhir hayatnya, sambung Purwanto. Kyai Sadrach memiliki istri bernama RR Tompo yang juga diyakini berasal dari kalangan ningrat yang lebih terkenal dengan sebutan Debora (nama baptis). 

Lebih lanjut Purwanto mengatakan, Kyai Sadrach tidak memiliki putra, namun sempat mengambil anak angkat yakni Kyai Yotam Martorejo. Kyai Yotam Martorejo memiliki tiga putra yakni Marto Seputo, Maria dan Mariem. 

"Marto Seputro memiliki 8 anak, dan tiga diantaranya saat ini yang merawat semua peninggalan Kyai Sadrach termasuk gereja, padepokan dan rumah. ketiganya yakni Supono (Sesepuh Padepokan Kyai Sadrach), Pujo Harjono (Ketua dan Pengurus) dan saya sendiri (Purwanto) sebagai petugas harian pelaksana gereja sekalgus Ketua Majelsi Gereja disini," pungkasnya. (tom) 



Sumber: http://www.jawapos.com/

 

TINJAUAN, ANALISA DAN PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN SEJARAH SADRACH

(http://sadrachkyai.blogspot.com/2010/01/18-tinjauan-analisa-dan-pertimbangan.html)

Dalam sejarah Sadrach ini perlu kita tinjau kembali, menganalisa dan mempertimbangkan apa yang telah terjadi dengan aktivitas-aktivitas pada masa lampau hingga pada masa kini, dan masa akan datang. Sebagaimana telah dikemukakan oleh W. Van de Meulen SJMA. Bahwa pengumpulan fakta-fakta sejarah saja belum cukup; ia dapat menjadi barang yang mati, tanpa diaktualisir dengan peristiwa-peristiwa yang komplek dalam masa silam dan kini. Tiap generasi menyumbangkan kreasinya sendiri. Sebab tiap generasi menjadi arsitek yang dinamis untuk masa yang akan datang dengan warisan masa-masa yang lalu. Ini melalui kondituitas yaitu pertalian yang bersifat peralihan apa yang telah lampau dan sekarang, perubahan dan pembaharuan. Dalam proses peralihan ini sebagian memberi kepada masa kini sebagai pengaruh dan pelajaran-pelajaran penting.
Untuk menganalisa sejarah ini, kita tinjau beberapa hal-hal yang penting saja, yang boleh menjadi pegangan kita.

Sejarah Sadrach ini dimulai dari pengembaraannya sebagai seorang santri sebelum ia menjadi orang Kristen. Seperti yang telah diuraikan diatas. Sadrach berwatak keras dalam mencari kebenaran Allah. Ialah seorang yang Progresif dan berjiwa bebas tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendak dan pikiran sendiri. Pelajaran-pelajaran Islam walaupun itu telah memberi dasar permulaan sejak kecil tapi itupun belumlah memberi kepuasan hatinya dan belum menjadi sasaran yang ia harapkan. Perkenalan dengan Kristus atau agama Kristen melalui Jellesma, Hoezoo dan Tunggul Wulung belumlah mendalam, tetapi inilah sudah menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian Kristen dengan mengambil keputusan hati untuk menerima baptisan. Ia dibina oleh ajaran gereja Hervorm dari Gereja “Zion” di kota Batavia. Walaupun ia sudah menjadi orang Kristen, cerdas, mempunyai cukup pengetahuan tentang Alkitab dan beriman, tapi padanya masih ada yang belum dibuang, ini menurut kesaksian Mr. Anthing yaitu ada beberapa ilmu-ilmu Jawa yang ia telah mempelajari dari guru-guru ilmu sebelum ia menjadi Kristen. Ilmu-ilmu itu ia pakai sebagai alat untuk mengalahkan orang-orang yang berilmu sehingga mereka bertobat dan menjadi Kristen. Ilmu yang dimiliki Sadrach dirangkaikan dengan kepercayaan Kristen. Ini ternyata pada waktu Sadrach berhadapan dengan guru-guru ilmu dimana ilmu yang Sadrach miliki itu tidak dapat diketahui oleh mereka. Ini terjadi pada waktu Sadrach memberitakan Injil sebagai pembantu Ny. Philips, dalam perjalanan ke Kutoarjo.

Sebaliknya segala ilmu yang dimiliki guru-guru itu sudah dimiliki juga oleh Sadrach. Adapun kelemahan-kelemahan lain, Sadrach sebagai pemimpin Jemaat Kristen Jawa, kurang memperhatikan ajaran-ajaran Kitab Suci dan membiarkan alat-alat kebiasaan orang Jawa yang bersifat ketahayulan tetap berjalan dalam Jemaat, hanya beberapa macam saja yang dilarang mereka berbuat misalnya : Wayangan, tayuban, dan sebagainya yang nyata sekali bertentangan dengan sepuluh hukum Tuhan. Lain dari pada itu, sebagaimana telah kita baca dihalaman depan, rupanya Sadrach telah cenderung menjadi seorang yang sangat berpengaruh di kalangan pengikutnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai macam anggapan dikalangan para pengikutnya yang tidak lagi sesuai dengan Kitab Suci Injil. Sikap Sadrach yang tidak tega terhadap praktek-praktek pemujaan orang terhadap dirinya justru merupakan titik pangkal yang melemahkan seluruh pelayanannya kepada pekabaran Injil di tanah Jawa. Dipihak lain pemujaan yang berlebihan terhadap kepemimpinan Sadrach menyebabkan tidak adanya orang lain yang mampu menggantikannya sehingga sesudah Sadrach meninggal dunia dapat dikatakan bahwa persekutuan Kristen yang ia pimpin kemudian terpecah belah, serta makin lama makin menipis, hal itu tentu patut disayangkan.

Tapi sebaliknya, Sadrach adalah orang yang sangat berwibawa. Ia sangat ditaati orang. Pengaruhnya sangat besar dan tak mudah ditundukkan orang lain, dan berjiwa bebas lagi pula suka bergaul dengan siapa saja yang dijumpainya. Baik kepada orang-orang yang berpangkat atau kedudukan tinggi maupun sampai yang rendah. Hubungannya sangat luas. Hatinya sangat keras dalam arti kata keras mencari kebenaran Allah, tapi ia ramah terhadap sesama orang, baik orang itu pernah menyakitkan hati atau tidak, pendiriannya selalu baik terhadap siapa saja, hal ini ternyata pada waktu ia dipenjarakan karena dituduh melanggar peraturan pemerintah (pencacaran) dan lebih-lebih direndahkan dihadapan orang banyak oleh Bieger. Apakah ia marah atau dendam sekali-kali tidak. Ia terima segala hinaan dan fitnahan-fitnahan Bieger, sebagai suatu ujian imannya. Semua diterimanya dengan besar hati. Dalam kenyataan ia telah mengangkat seorang pendeta Belanda utusan NGZV. Yaitu Wilhelm menjadi pendetanya, dan apa yang diajarkan dan diatur oleh Wilhelm tak pernah ditentangnya. Demikian pula dengan Adriaanse yang sangat diharapkan bantuan-bantuannya, tapi sayang, Adriaanse bertindak terlalu hati-hati hingga selalu tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Adriaanse ingin merintis kembali hubungannya dengan Sadrach tetapi ia kurang tegas dan terlalu takut kepada atasanya, hingga gagal. Apakah jeleknya dan salahnya kalau Sadrach minta bantuan demi kemajuan jemaatnya, tetapi selalu terhambat, karena Adriaanse tidak dapat mengambil keputusan sendiri selalu minta ijin dari negeri Belanda. Sebenarnya hal ini sangat mengecewakan jemaat Sadrach di Karangjoso. Lebih-lebih ketika Lion Cachet dengan keputusannya yang kurang bijaksana. 

Akhirnya membawa kerugian besar dipihak Zending sendiri. Dengan keputusan itu berarti menutup rapat bagi Jemaat Sadrach untuk mengadakan kontak dengan pihak Zending, ini berarti pula bahwa kemungkinan untuk saling belajar juga tertutup. Lion Cachet seorang Belanda dan bertindak seperti orang Belanda terhadap jemaat di negeri Belanda yang sudah banyak kemajuan dalam pengertian Alkitab. Dalam hal ini tentulah tak dapat disamakan dengan keadaan orang Jawa. Pandangannya kurang sesuai dengan cara hidup orang Jawa. Pertanyaan yang penting setiap kali muncul disini, bagaimanakah dapat menilai kekristenan orang Jawa dengan segala watak dan hati dan serta keistimewaannya ? Kecuali orang yang dapat hidup bersama-sama, bergaul bersama-sama dalam waktu yang lama. Hal ini tak dapat dipandang sepintas lalu saja sebagai kaum wisatawan. Lion Cachet bertindak dan mengambil keputusan dengan apriori seperti kaum wisatawan saja, dan sangat berbeda pandangannya dengan Wilhelm yang sudah bergaul bersama-sama hingga mengerti benar-benar apakah yang dikehendaki dan cara bagaimana harus melayani jemaat yang masih terlalu kurang dalam pengertian sebagai orang Kristen terhadap orang-orang Kristen Jawa. Ia merintis segala kesukaran-kesukaran yang ia hadapi untuk menuju kearah kemurnian jemaat-jemaat Jawa dengan usaha membuka sekolah. 

Ia mengetahui bahwa adat-adat kebiasaan orang Jawa memang tak mudah dibuang saja, bahkan semua harus dilakukan dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Perintisan dimulai dari pendidikan sekolah guru Injil bagi anak-anak, dimana ia telah menganjurkan kepada jemaat-jemaat supaya orang-orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Ternyata tindakan dan usaha Wilhem membawa berkat Tuhan yang amat besar, dengan penambahan-penambahan anggota jemaat yang tidak sedikit, baik di daerah Bagelen maupun sampai di wilayah Yogyakarta. Jasa Wilhelm amat besar bagi Jemaat Jawa. Tetapi sayang usaha-usaha Wilhelm sangat ditentang oleh rekan-rekannya sendiri yaitu Horstman, Vermeer dan Zuidema.

Apakah mungkin mereka iri hati, mengapakah Wilhelm dapat bergaul baik dengan orang-orang Jawa sedangkan mereka tidak ? Dalam hubungan ini muncul suatu pertanyaan pokok dalam misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja-gereja dari Barat : bagaimanakah kaitan antara kebudayaan dan Injil, seberapa jauhkan Injil telah tercampur baur dengan kebudayaan barat dalam hal ini kebudayaan negeri Belanda ? bagaimana hubungan antara identitas kulturil dan Injil keselamatan ? Sampai seberapa jauhkah perbedaan antara kekristenan Jawa dan kekristenan Belanda ? Persoalan-persoalan itulah yang nampaknya terus menerus digumuli oleh Kyai Sadrach terbukti ketika ia mengatakan bahwa Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan “Kristen Londo”, karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan adat serta pemikiran Orang Jawa, asal tidak menyimpang dari kepercayaan Kristen. Hal ini ternyata mereka telah memberikan laporan-laporan yang bertentangan dengan laporan Wilhelm kepada NGZV, seolah-olah ingin menjatuhkan Wilhelm. Laporan-laporan mereka lebih dikuatkan oleh kenyataan-kenyataan yang dilihat sendiri oleh Lion Cachet dari dekat, ketika ia berjumpa dengan seorang yang menderita sakit dan ingin minta obat dari Sadrach dan mendengar sendiri dari beberapa murid Sadrach dari hal kesaktian-kesaktian Sadrach dan sebagainya. Sayang, Lion Cachet hanya banyak mendengar dari murid-murid Sadrach saja dan kurang menghubungi Sadrach sendiri, dan tidak mengetahui benar-benar apa yang dilakukan oleh Sadrach sendiri. Ia tak menyadari bahwa pengikut-pengikut Sadrach sangat setia pada Gurunya. Mereka menjunjung tinggi gurunya. Maka keputusan Lion Cachet itu benar-benar menutup pintu segala kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan Jemaat tersebut Wilhelm seolah-olah menjadi saingan besar terhadap rekan-rekannya sendiri. Soal ini berarti pihak Zending salah bertindak meskipun tujuan dan maksudnya mungkin benar. Akhirnya membawa perpecahan, berantakan dan kemunduran yang amat menyedihkan. Tetapi dipihak Sadrach tetap teguh, sedikitpun tak goyah. Pengikut-pengikutnya tetap setia kepadanya. Akhirnya Sadrach memutuskan hubungan dengan Zending. Adapun kerugian yang diderita oleh Zending adalah pertama kehilangan 2 pendeta utusan yaitu Wilhelm dan Vermeer. Horstman kembali ke Nederland karena istrinya meninggal dunia. Murid-murid Sekolah Keuchenius ditarik kembali oleh orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam lingkungan Zending sebagian besar meninggalkan Gerejanya, menurut catatan mula-mula jumlah 6374 dan kini hanya tinggal 150 termasuk jemaat-jemaat : Purworejo, Temon, Tegal, Pekalongan dan daerah Banyumas. NGZV, tidak berdaya lagi untuk menrintis kembali jemaat Jawa di Jawa Tengah ini, maka mereka mencoba menyerahkan tugas ini kepada Synode Gereja-gereja Gereformeerd di Nederland. Akhirnya Gereja-gereja ini mengutus Adriaanse, tetapi Adriaanse pun gagal usahanya.
Dalam situasi demikian itu, dalam keadaan yang masih keruh itu, datang seorang Tionghoa dari aliran gereja Kerasulan di Magelang bernama Liem Tjhing King, mula-mula kedatangannya memberitahu tentang meninggalnya Mr. Anthing yang saat itu sudah menjadi rasul di Indonesia. Inilah sebagai suatu dorongan mula-mula masuknya Sadrach menjadi rasul, dasar pada saat itu Sadrach merasa bebas tidak tergantung lagi kepada Zending maupun aliran lain. Ia bebas 100 %, dengan demikian maka baginya bebas untuk mengambil tindakan-tindakan selanjutnya menurut kehendaknya sendiri. Dorongan menjadi rasul lebih dikuatkan ketika ia meninjau keluarga Anthing dan menghadiri kebaktian di gereja Kerasulan. Kemudian ia menyatakan kesediaannya diangkat menjadi Rasul. Sifat dan ciri Sadrach, ia selalu suka pada hal yang ia anggap baru. Hatinya sangat tertarik masuk menjadi Rasul mengikuti teladan-teladan gurunya yaitu Mr. Anthing. Biasanya orang diangkat menjadi rasul berdasarkan percaya akan nubuat-nubuat yang datang daripada Allah sendiri. Menurut kepercayaan Gereja Kerasulan, Rasul itu harus tetap ada hingga akhir jaman. Orang yang diangkat menjadi Rasul berhak melayani sakramen-sakramen gereja. Kedudukan inilah sebenarnya yang dikehendaki Sadrach dimana ia dulu sebagai kaum awam tapi sekarang sebagai Rasul yang berhak melayani Baptisan dan Perjamuan Suci, hingga tidak lagi memerlukan pendeta untuk melayaninya. Dengan pengangkatan Sadrach menjadi Rasul, sebenarnya bagi Sadrach belum jelas, bagaimanakah peraturan-peraturan yang harus dipraktekkan, bukti bahwa segala peraturan Gerejanya masih tetap memakai peraturan-peraturan yang lain, hanya ada beberapa penambahan yang terdapat dalam jabatan-jabatan.
Ketika Sadrach meninggal dunia, terjadi kegoncangan. Jemaat Sadrach terpecah belah dan berantakan. Ini sebenarnya hanya disebabkan Yotham yang menghendaki agar Jemaatnya diserahkan kepangkuan Zending. Ia sendiri tidak ada kesanggupan untuk menggantikan kedudukan Sadrach. Yotham yang sejak muda menjadi murid Wilhelm dan Zuidema di sekolah Keuchenius. Sedikit banyak ia telah memperoleh pengertian-pengertian tentang Kitab Suci dan peraturan Gereja. Ia berpendirian lain dari pada Sadrach, bahkan ia lebih condong untuk menyerahkan kepangkuan Zending. Angan-angan ini sebenarnya sudah ada sebelum Sadrach meninggal dunia, ia sebenarnya tidak setuju dengan peraturan-peraturan adat-adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang Kristen Jawa yang oleh Sadrach dibiarkan saja, dan lagi tentang pendirian gereja kerasulan dalam hati Yotham kurang setuju, karena ia anggap menyimpang dari ajaran kitab suci. Tapi angan-angan tetap tinggal angan-angan saja. Hal ini barulah terwujud setelah Sadrach meninggal dunia. 

Rasul Schmidt dari Cimahi mencoba mempertahankan aliran kerasulan Sadrach, maka diusulkan supaya mencari pengganti orang lain. Akhirnya Yotham menerima juga untuk menggantikan kedudukan Sadrach. Sebenarnya Yotham sudah mempunyai rencana-rencana tertentu. Dengan menerima pengangkatan itu termaksud hanya agar memuaskan rasul dari gereja Kerasulan dan pemimpin-pemimpin kelompok yang masih setia kepada Sadrach. Hal ini terbukti dalam pimpinannya tidak dapat memuaskan kepada pemimpin-pemimpin kelompok atau para imam. Karena itu beberapa pemimpin kelompok telah memisahkan diri dari Jemaat itu dan akhirnya mereka telah menyatukan diri kepada Zending. Menurut Yotham, haruslah diadakan pembaharuan Jemaat sebab mengingat tidak ada kemajuan sama sekali. Ia telah mengadakan musyawarah, dengan mengundang beberapa pendeta Zending dan semua pemimpin kelompok bermaksud akan menyerahkan Jemaat-jemaat Sadrach pengakuan Zending. Dengan senang hati Zending menerima baik, tetapi ada beberapa pemimpin yang telah mempertahankan Naluri Kerasulan Sadrach. Mereka terpaksa memisahkan diri. Dan hingga kini Jemaat Kerasulan Naluri tetap ada. Misalnya di desa Ketug, sebagai pemimpin sampai pada saat ini (akhir 1971) ialah Bapak Martosugondo, yang masih keturunan Yotham Martorejo sendiri.

Jumlah anggota Jemaat hanya terdapat beberapa orang saja, sedangkan anak-anak dan cucu-cucunya tidak mengikuti aliran itu. Mereka menjadi anggota Jemaat GKJ (Gereja Kristen Jawa). Jemaat Karangjoso dipersatukan dengan jemaat-jemaat lain. Sebagai ibu jemaat adalah jemaat di Purworejo. Dengan demikian sampai pada saat ini, adat-adat kebiasaan yang dulu masih berjalan dalam jemaat, ternyata sekarang sudah lenyap sama sekali, nyanyian-nyanyian yang dipakai sekarang adalah Nyanyian Kidung seperti yang dipergunakan di jemaat-jemaat lain. Liturgi Kebaktian dan peraturan-peraturan lain kini sudah sesuai dengan Jemaat lain. Hingga pada saat ini (akhir 1971) sebagai guru Injil adalah Bp. Soeprapto Martoseputro, cucu dari Yotham Martorejo. 
Sampai pada saat ini juga di Karangjoso masih ada Gereja Kerasulan Baru, tapi ini bukan Gereja Kerasulan naluri Sadrach. Gereja tersebut dalam corak dan bentuk lain, yang memakai bahasa campuran yaitu kotbah dengan bahasa Jawa tetapi nyanyiannya bahasa Indonesia.

Demikian Sejarah Jemaat GKJ di Karangjoso dapat berjalan dengan baik karena berkat-berkat Tuhan setelah mengalami berbagai proses yang tak mudah dilupakan dalam Sejarah Gerejani. 
Bagaimana menilai orang seperti Kyai Sadrach ? Pertanyaan ini memang sulit sekali dijawab. Dan buku kecil ini juga hanya semacam sketsa yang tidak memberikan penjelasan-penjelasan terperinci tentang masalah-masalah tehologia yang dihadapi oleh Sadrach.

Namun, buku seperti ini sangatlah penting artinya. Sebab didalamnya dilukiskan pergumulan seorang pemimpin agama Kristen di Jawa melawan otoritas Gereja resmi, badan Zending serta pemerintah kolonial Belanda. Hal seperti ini belum pernah dikupas secara khusus dalam literatur Kristen. Sehingga sering menimbulkan kesan ditengah masyarakat luas dan juga dikalangan warga Gereja, seolah-olah persoalan semacam ini tidak pernah ada.

Masalah pokok yang bisa muncul dari buku kecil semacam ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : Sampai seberapa jauhkah pekabaran Injil di Indonesia ini tercampur dengan unsur-unsur kebudayaan Barat, khususnya kolonialisme ? Apakah perbedaan atau pertentangan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Jawa dapat dianggap sebagai pertentangan antara Injil dan unsur-unsur kekafiran dari kebudayaan Jawa ? Bagaimana hubungan antara identitas kulturil dengan pertobatan kepada Injil Yesus Kristus ?

Riwayat Kyai Sadrach dalam buku ini sedikitnya menunjukkan bahwa pada waktu itu (pertengahan abad ke-19), Gereja Kristen belum mampu memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu secara jernih. Sejarah akan berkembang ke arah lain, seandainya gereja benar-benar taat kepada Tuhannya. 

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

 

 

 

Kiai Sadrach – Sketsa Kelam Perjumpaan Tradisi Jawa dengan Kristen Kolonial (http://febrina.wordpress.com/kiai-sadrach-sketsa-kelam-perjumpaan-tradisi-jawa-dengan-kristen-kolonial/)

Ajaran Kiai Sadrach mengundang kontroversi khususnya di kalangan gereja Belanda. Namun upayanya untuk memperkenalkan Kristus kepada bangsanya tidak perlu diragukan. Apa yang bisa kita pelajari dari sosok sederhana ini?

Suatu hari, seorang pria Jawa sederhana yang masih berusia 35 tahun dan baru saja menjadi Kristen mendengar suara yang memerintahkannya untuk meninggalkan tanah yang telah digarapnya. Ia begitu berduka. Sesudah membuka hutan di Bondo dengan susah payah, ternyata ia harus meninggalkan hasil jerih payahnya. Tetapi ia merasa harus mengikuti perintah itu. Ketika berangkat, beberapa kali ia menoleh dan melihat apa yang harus ditinggalkannya dan menangis…

MENUNTUT ILMU, MENEMUKAN KRISTUS

Pria itu berangkat ke Purworejo. Kelak ia menjadi “rasul” yang mencatat sejarah kekristenan di tanah Jawa, meskipun dengan silang pendapat penuh kontroversi. Ia telah menjangkau banyak jiwa, jauh melebihi prestasi para misionaris Belanda. Tetapi ia juga dituduh sebagai sumber sinkretisme antara nilai Kristen dan kejawen (ritual tradisi Jawa). Bagi orang Jawa, ia seperti guru bahkan ada yang menganggapnya Ratu Adil di tanah Jawa. Sedangkan bagi para misionaris, dia adalah kiai Jawa yang ambisius dan gila hormat. Ya… dia adalah Kiai Sadrach.Radin. Itulah nama sebenarnya Sadrach. Terlahir sekitar tahun 1835 sebagai anak petani miskin di Kawedanan Jepara (mungkin di Demak), bagian utara Jawa Tengah.

Radin kecil pernah hidup mengemis. Hingga ada keluarga Muslim kaya, yang mengangkatnya anak dan membesarkannya menurut tradisi Islam Jawa. Radin pun mendapat pendidikan di sekolah agama, disamping ngenger (mengabdi) pada keluarga tersebut. Tampaknya Radin memang tertarik dengan hal-hal spiritual sehingga banyak melakukan ziarah spiritual un-tuk meningkatkan ilmunya. Di Semarang, ia belajar pada seorang guru ngelmu bernama Kurmen atau Sis Kanoman. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dari pesantren ke pesantren. Dalam hal kemampuan spiritual, Radin bukanlah orang sembarangan. Ia mampu mengaji, menulis pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab yang diadaptasikan dengan fonetik Jawa) serta membaca dan menulis dengan aksara Jawa. Nama “Abas” yang berbau Arab pun ditambahkan di belakang namanya sebagai tanda bahwa Radin Abas bukan orang biasa. Ia memang guru ngelmu yang patut disegani. Tetapi tingginya ngelmu tiada sebanding dengan kuasa Kristus.

Pertemuannya dengan bekas gurunya, Pak Kurmen menjadi titik balik sejarah imannya. Pak Kurmen ternyata telah menjadi milik Kristus melalui penginjilan Kiai Kristen Tunggul Wulung. Pak Kurmen memperkenalkan Radin Abas kepada Tunggul Wulung dan Radin Abas pun tunduk menyerah kepada ’ilmu yang tertinggi’ ini. Tunggul Wulung membawa Radin Abas ke Batavia untuk menemui Mr. Anthing, pejabat tinggi Belanda (wakil Mahkamah Agung). Di sana Radin Abas mendapat pengajaran tentang kekristenan selama dua tahun. Pada 14 April 1867, Radin Abas dibaptis oleh Pendeta Ader. Sang guru ngelmu telah tunduk di bawah kuasa Kristus dan berganti nama Sadrach.

MENJADI RASUL ORANG JAWA

Sadrach sempat tinggal di sebuah desa Kristen baru bernama Bondo. Desa ini dibuka oleh Tunggul Wulung. Sadrach bersama Sis Kanoman mengelola desa tersebut karena ditinggal berdakwah oleh Tunggul Wulung untuk mencari pengikut yang mau tinggal di desa baru tersebut. Namun sekembalinya Tunggul Wulung, Sadrach mendengar suara ”panggilan” Tuhan untuk pergi dan menyerahkan segala hasil jerih payahnya kepada Tunggul Wulung. Ia pergi ke Purworejo dan diterima oleh keluarga Philips.

Bagaikan Rasul Paulus yang bertobat dan mempersembahkan segenap kemampuannya, Sadrach pun menggunakan kemampuan dan pengalamannya untuk mewartakan kerajaan-Nya. Pengetahuan Sadrach jauh melebihi yang dimiliki orang-orang Jawa pada masa itu. Ia menguasai tiga bahasa yaitu Jawa, Melayu, dan Arab. Ia juga dapat menulis dalam empat aksara yakni Jawa, Arab, pegon, dan Latin. Selain mempelajari dua agama, Islam dan Kristen, Sadrach juga ngelmu Jawa. Pengalamannya pun cukup luas. Ia telah mengelilingi Pulau Jawa melihat berbagai desa Kristen sebagai model dan dekat dengan orang-orang besar Eropa seperti Anthing, wakil Mahkamah Agung. Kini saatnya Sadrach mempersembahkan segala kemampuannya bagi Tuhan untuk mewartakan Injil, ”Ilmu yang Tertinggi”.

Sadrach menunjukkan tugasnya sebagai “rasul” dengan memilih tinggal di Karangyoso, yang oleh penduduk sekitar dianggap angker dan dihuni oleh roh-roh jahat. Sadrach secara tidak langsung telah memperlihatkan kepada penduduk bahwa “ilmu baru” sang kiai telah mengalahkan setan, hantu, dan jin. Selain itu Sadrach selalu berjalan mengunjungi guru-guru (kiai) yang terkemuka di daerah itu serta berusaha meyakinkan mereka akan kepercayaan Kristen. Banyak guru beserta seluruh muridnya menyerah kalah melawan “ilmu” Kiai Sadrach. Mereka bersedia bertobat dan mau belajar tentang “ilmu” ini. Murid-murid baru tersebut kemudian dibawa oleh Sadrach kepada Nyonya Philips untuk mendapat pelajaran agama Kristen (Pengakuan Iman, Doa Bapa Kami, Sepuluh Perintah Allah) lebih mendalam dan dibaptis oleh pendeta dari Gereja Protestan (Indische Kerk). Sadrach sendiri tidak pernah membaptis orang dan memimpin sakramen. Ia hanya menjadikan mereka pengikut Kristus kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada Nyonya Philips.

Melalui Sadrach gerakan kekris-tenan mengalami kemajuan luar biasa, bahkan melebihi usaha para misionaris. Lambat laun jumlah orang Kristen Jawa telah melampaui orang Kristen Belanda di Gereja Purworejo. Sayangnya, kerenggangan sentimen ras mulai timbul. Antipati masyarakat Belanda terhadap orang Kristen Jawa semakin terasa. Apalagi dalam kehidupan jemaat Kristen Sadrach masih ditemukan beberapa ritual tradisi Jawa.

PERSELISIHAN

Kematian Nyonya Philips menjadi titik balik hubungan orang-orang Belanda dengan Kiai Sadrach. Orang Belanda memandang Sadrach hanya sebagai pembantu keluarga Philips. Seluruh pertambahan jemaat dianggap hasil kerja keras keluarga Philips. Oleh karena itu gereja menuntut hegomoni atas jemaat-jemaat Sadrach. Kematian Nyonya Philips yang menjadi benang penghubung antara orang Kristen Jawa dan Eropa terputus sama sekali.

Beberapa usaha pemulihan kerjasama pun selalu gagal karena pihak Belanda tidak mau memandang Sadrach sederajad dengan mereka. Rasisme menakdirkan Sadrach dengan cara apa pun harus tunduk terhadap gereja Protestan. Adalah Wilhelm, misionaris Belanda yang mau bekerja sama dengan Sadrach. Ia rela ”duduk bersama Sadrach” dan mulai memahami keunikan jemaat Sadrach. Di mata jemaat Sadrach, Wilhelm dianggap sebagai pendeta yang membantu Sang Kiai.

Tetapi, di sisi lain, ia terasing dan diabaikan dari komunitas gereja Belanda.Sadrach juga semakin disudutkan dengan berbagai tema dogmatis. Ia dianggap melakukan sinkretisme antara Kristen dan kejawen serta tidak mengerti hakikat ortodoksi kekristenan. Tuduhan yang paling parah lagi adalah Sadrach menganggap dirinya sebagai Ratu Adil. Ia dianggap sebagai Kristus atau konsep Ratu Adil yang akan datang. Gencarnya berbagai isu miring tentang Sadrach membuat NGZV melakukan penyelidikan (tanpa wawancara langsung kepada Sadrach). Pada tahun 1891 dikeluarkan pernyataan bersama para misionaris untuk memisahkan diri dari jemaat Sadrach. Purna sudah hubungan orang-orang Kristen Eropa dengan orang Kristen Jawa.

BERJALAN SENDIRI

Gereja Sadrach pada akhirnya berjalan sendiri. Selama tiga puluh tahun (1894-1924) Sadrach telah berperan menjadi pendeta dan mulai memimpin sakramen perjamuan kudus. Seiring perubahan strategi misi, yaitu dari perkebunan di pedesaan bergeser ke arah pendidikan (sekolah) dan kesehatan (rumah sakit) di perkotaan, jemaat Sadrach pun mulai surut. Sadrach semakin terasing dan secara praktis kembali kepada tradisi kiai, yaitu menjadi guru spiritual, dihormati dan ditakuti namun hidup dengan pengikutnya dalam jagad kecil yang tertutup.

Pada malam 14 November 1924, Sadrach menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 89 tahun. Putra angkatnya, Yotham diangkat sebagai pengganti, namun jemaat semakin melemah sedangkan Yotham tidak memiliki kharisma Sadrach. Jemaat mulai tercerai berai. Ada yang bergabung dengan misi (zending), ada yang tetap mempertahankan semangat mandiri kerasulan. Ada pula yang melebur dengan gereja Katolik. Berakhirlah sepenggal kisah sejarah perjumpaan Jawa dan Eropa yang gagal akibat kekristenan tidak mau mendengar kebudayaan. Betapa pun banyak tuduhan buruk tentang Sadrach, Wilhelm telah meninggalkan catatan tertulis tentang pengakuan Sadrach, ”Aku adalah abdi Tuhan Yesus Kristus. Beliau adalah Perantara dan Guruku” .

(Yosef Krisetyo/dari berbagai sumber)

 

Kyai Sadrach, Dari Pesantren Menuju Gereja.

http://agama.kompasiana.com/2010/12/25/kyai-sadrach-dari-pesantren-menuju-gereja-327221.html

Radin dilahirkan  di desa Dukuhsekti daerah Demak wilayah Jepara. Namunk  sejak masa kanak-kanak ia telah meninggalkan tempat kampung halamannya dan mencoba mencari hidup nafkahnya sendiri dengan minta-minta. Pada saat itu hidupnya sangat menderita, karena selain untuk mengisi perut pun ia harus menerima hinaan setiap hari dari anak-anak bangsawan yang sepadan usianya. Dengan sabar ia menerima segala yang dirasakan pada saat itu, tetapi semuanya itu tentulah tidak berlangsung lama. Tetapi cukuplah penderitaan yang ia rasakan, karena pada akhirnya ia ditolong oleh seorang Guru Agama Islam untuk diberi pelajaran mengaji. Betapa suka hatinya, dengan rajin ia mengikuti pelajaran agama Islam. Ternyata ia dipandang sebagai anak yang lebih pandai dari anak-anak lain. Ia berdiam di rumah guru itu dan dianggap seperti anak sendiri.

Melihat ketekunan dan kepandaiannya maka dia dibawa oleh guru tersebut pergi Jombang untuk meneruskan pelajarannya yang lebih tinggi yaitu dipondok Pesantren  dan diberi nama baru, yaitu  Abas, maka namanya menjadi Radin Abas. Dipondok Pesantren di Jombang ini, Radin Abas dipandang sebagai anak yang cerdas dan rajin. Semua pelajaran dapat ia kuasai. Selama di  menempuh pelajaran di pesantren ini , pada waktu liburan ia sering ke Mojowarno untuk mendengar suatu pelajaran menurut pandangannya adalah hal yang baru yang diberikan  oleh Ds. Jellesma. Benih ajaran Kristen mulai tertanam dalam hatinya melalui Ds. Jellesma ini. Dalam hal ini ia merasa heran ketika mendengar Injil keselamatan. Hatinya sangat tertarik pada agama Kristen. Dengan diam-diam diluar sepengetahuan guru-guru pondok pesantren dan teman-temannya ia mengadakan hubungan dengan Ds. Jellesma, menerima pelajaran agama Kristen. Banyak persoalan-persoalan yang dibicarakan dan banyak pula keterangan-keterangan yang diperolehnya. Ia telah menyatakan keinginannya menjadi murid  Ds. Jellesma di Mojowarno. Radin Abas berwatak keras dan progresif, karena ia mencari akan kebenaran Allah. Sampai pada saat itu ia belum dapat melepaskan pondok pesantrennya dani masih dirahasiakan kepada Guru dan temannya. Namun akhirnya dia memutuskan pindah  ke Ponorogo ke pesantren Gontor yang sudah terkenal. Pondok Pesantren di Jombang yang disebut Tebuireng dan Gontor di Ponorogo adalah sangat terkenal pada waktu itu.

Apa yang diterima dalam Lembaga Pendidikan  sebagaimana  pesantren-pesantren tradisional,  ajaran-ajaran yang diberikan pada zaman itu, disamping ajaran-ajaran pokok agama Islam, adalah bahasa Arab, tasawuf, dan juga berbagai ilmu yang bersifat magis.  Melanjutkan pendidikannya, dari Ponorogo ia pindah lagi  ke Semarang. Di Semarang ia bertempat tinggal di tengah-tengah orang Arab dan kaum muslimin. Di sana ia mendapat pelajaran dari seorang guru dalam ilmu magis yang terkenal sebagai dukun dan juru tenung. Disamping itu, ia juga  berkenalan dengan Ds. Hoezoo seorang pendeta utusan yang berkedudukan di Semarang  atas  referensi  dari Ds. Jellesma. Ds. Hoezoo merasa sangat gembira menerima Radin Abas sebagai murid Katekisasi.
Pelajaran yang ia terima dari guru ilmu kebatinan itu, menurut anggapannya tidak ada jahatnya karena hal itu hanya untuk menambah pengetahuannya saja.

Baginya, menambah ilmu pengetahuan bisa dengan cara apa saja dan dimana saja termasuk di Gereja, untuk itu dia  dia hari minggu ke gereja.  Pada saat kepergiannya kegereja itu ia diperkenalkan dengan seorang yang telah lanjut usianya bernama; Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang berasal dari desa Bondo, sedaerah  dengan dirinya. Radin Abas merasa girang dengan pertemuan itu,  mendengar banyak tentang Kyai tersebut ia sangat tertarik dan ingin menjadi muridnya. Radin Abas tak habis mengerti bahwa di daerahnya sendiri ada seorang Jawa yang berdiri sebagai Kyai Kristen. Orang itu berbadan tinggi besar bermata tajam dan berjenggot panjang sampai ke dada  seperti seorang bertapa dan tak pernah ia duduk di tanah jika berhadapan dengan siapa saja yang ia jumpai baik orang Belanda maupun orang yang berpangkat sekalipun, bahkan ia pandai bicara disertai pengaruh. Ialah seorang yang telah mendirikan suatu desa Kristen di Bondo, pun mempunyai banyak ilmu dan pengalaman sebelum ia menjadi orang Kristen. Ia bertindak sebagai dukun Kristen menurut anggapan orang desa itu. Radin Abas telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri menjadi orang kristen tidak perlu duduk ditanah jika berbicara dengan orang belanda.

Perkenalan antara Radin dengan Kyai Tunggul Wulung, menyebabkan hati Radin makin terdorong dan sangat condong kepada Agama Kristen. Hingga akhirnya ia menyatakan ingin menjadi orang Kristen. Kyai Tunggul Wulung sangat gembira ketika mendengar pernyataan anak muda itu, maka ia berusaha untuk membawa Radin Abas kepada seorang Belanda Mr. Anthing yang berkedudukan di Batavia pada tahun 1865/1866. Kyai Tunggul Wulung dan Mr. Anthing berkawan pada waktu Mr. Anthing tinggal di Semarang sebagai petugas Pengadilan. Kemudian pada tahun 1863 Mr. Anthing pindah ke Batavia. Di Batavia Mr. Anthing mendapat kedudukan sebagai Vice President Hoog Gerechtchef (Wakil Kejaksaan Tinggi). Iapun menjadi anggota suatu perkumpulan “Het Genootchap voor in-en Uitwendige Zending” (Urusan Dalam dan Luar dari Perkumpulan Persahabatan para Utusan) di Indonesia, yang bertujuan memberitakan Injil kepada orang-orang Kristen yang sesat, dan kepada semua orang. Ia sangat memprihatinkan pekabaran Injil kepada orang-orang bumi putera.

Disamping pekerjaannya ia telah mendirikan sebuah pendidikan Kristen untuk anak-anak muda bumi putera. Pendidikan itu bersifat Theologis, supaya anak-anak yang lulus dari pendidikan itu menjadi seorang pekabar Injil.
Kedatangan Kyai Tunggul Wulung bersama Radin di Batavia, diterima dengan gembira oleh Mr. Anthing. Bagaimana mesranya pertemuan itu karena sahabat lama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa. Kyai Tunggul Wulung menyatakan maksud dan tujuan kedatangannya, yaitu hendak menyerahkan Radin Abas kepada pendidikan Mr. Anthing. Dengan suka hati Mr. Anthing menerima Radin Abas sebagai muridnya.

Dalam pendidikan tersebut, mula-mula Radin diterima sebagai pelayan. Kemudian setelah dipandang baik dan rajin mengatur rumah tangga dan setia dan keinginan yang sungguh-sungguh menjadi orang Kristen, haruslah ia mendapat pelajaran-pelajaran agama Kristen. Mr. Anthing sangat suka pada Radin karena anak muda itu di pandang cerdas otaknya dan mudah menerima segala pelajaran yang diberikannya. Akhirnya Radin diangkat menjadi anak-mas Mr. Anthing. Pelajaran agama Kristen telah diberikan oleh Ds. Taffer, seorang pendeta pensiunan. Akhirnya Radin Abas mengambil keputusan untuk menerima Baptis Suci. Setahun kemudian ia lulus dari pendidikan tersebut, ia menerima Baptis Suci di Gereja “Zion” pada tanggal 14 April 1867, dengan nama Baptisan “Sadrach”, dan ia mengganti nama santrinya “Abas”, maka ia pakai namanya sebagai “Sadrach Radin” dan akhirnya ia terkenal dengan sebutan “Sadrach” saja. Pada saat ia dibaptiskan, ia telah berusia 26 tahun. Beberapa kesimpulan mengenai jalan hidup Sadrach hingga menjadi seorang Kristen adalah antara lain :

  1. Sejak kecil ia sangat menderita, hidup mengembara untuk mengatasi segala kesulitan-kesulitannya sendiri serta mendapat perlakuan yang merendahkan dirinya. Maka di sinilah terbentuk jiwa pemberontak dan bebas dan tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendaknya dan pikirannya sendiri.
  2. Ia seorang yang cukup mendapatkan dasar-dasar pendidikan Islam tradisionil, bercampur magis, dan seorang santri yang berpengalaman.
  3. Setelah mengenal Kristus melalui Ds. Jellesma, Ds. Hoezoo dan Kyai Tunggul Wulung belum begitu mendalam, tetapi hal itu menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi.
  4. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian Kristen dengan keputusan hatinya untuk menerima Baptisan.
  5. Kekristenan Sadrach telah diisi dan dibina oleh ajaran gereja yang beraliran Hervormd, karena dia menjadi anggota Gereja “Zion” di Batavia.

Dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, Sadrach tinggal di Karangjasa, sebuah desa terpencil di selatan Bagelan, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan kedua abad ke-19, Karangjasa dikenal sebagai tempat mengabarkan Injil oleh para pejabat kolonial Belanda, Misi Gereja-gereja Gereformeerd Belanda (ZGKN), dan orang-orang Kristen Jawa.  Namun pemerintah kolonial menganggap Sadrach sebagai pemimpin pemberontak yang mengancam stabilitas, ketentraman, dan ketertiban umum. Sedangkan para zending Belanda menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Calvinisme. Pengaruh perjalanan pendidikan islam yang diterima oleh Sadrach sangat mempengaruhi Kristennya yang tak mencabut akar budaya jawa yang dipengaruhi oleh islam jawa seperti kebiasaan membakar kemenyan dan ritual magis.  Orang jawa sendiri menuduh Sadrach sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaatnya dianggap orang-orang Kristen palsu atau jemaat Islam yang berpakaian Kristen. Saat itu terjadi semacam perbenturan konsep keberagamaan. Agama Kristen sering dicap sebagai “agama Belanda”. Sementara orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh antara lain dengan ungkapanlondo durung jowo tanggung (orang Belanda bukan, orang Jawa tanggung).

Sadrach juga memimpin kebaktian dalam bahasa Jawa sehingga mudah dimengerti oleh jemaat. Selain itu, dia dikenal mampu mengendalikan roh jahat dan iblis. Karenanya, keris yang dikeramatkan dan bisa dipakai untuk mengatasi berbagai malapetaka dan mengusir setan-setan, dianggap kekuatan mahasakti dan harus disembah. Keris kemudian menjadi simbol identifikasi Kristus (keris yang meneteskan darahnya seperti darah Yesus yang menetes dari paku salib). Cara duduk ketika beribadah adalah duduk bersila dan para jemaat Sadrach harus menyentuh dan mencium kaki Sadrach, seperti ketertundukan para murid terhadap Yesus. Dalam kapasitas ini, Sadrach menganggap dirinya sebagai penampakan “sang rasul Yesus ke orang Jawa”.  Sadrach membangun agama Kristen Jawa yang tetap dekat sekali dengan bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal di dalam Islam dan ngelmu. Gedung gereja disebut masjid dan dibangun dengan bentuk masjid di halaman rumah pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian dimulai sebuah bedug dipukul. Sesudah acara pembaptisan diadakan slametan.

Sesuai tradisi Jawa, Sadrach menambahkan nama baru, Surapranata, untuk menunjukkan posisi barunya. Surapranata berarti “dia yang berani mengatur atau memerintah”.  Setelah nama itu dilengkapinya menjadi Raden Mas Ngabehi Surapranata dan dia tampil bak raja, lengkap dengan dayang-dayang. Bahkan ada yang melaporkan bahwa dia sendiri pernah mengaku sebagai Kristus atau Ratu Adil. Peningkatan jumlah jemaat Sadrach menimbulkan kecurigaan pemerintah setempat. Sadrach dianggap sebagai ancaman politik. W. Ligtvoet, residen Bagelan, mencari cara untuk menyingkirkan Sadrach.

Pengurus NGZV, Bieger, mengemban misi besar itu. Berkali-kali Bieger meminta Sadrach agar mempercayakan jemaatnya kepadanya. Karena Bieger gagal, Ligtvoet turun tangan dengan menahan Sadrach selama tiga minggu lalu menjadikannya tahanan rumah selama tiga bulan. Alasan penahanan, Sadrach menolak vaksinasi cacar, yang saat itu lagi mewabah, dengan alasan agama. Karena tak cukup bukti untuk mengajukannya ke pengadilan, Sadrach dibebaskan dengan keputusan Gubernur Jenderal pada 1 Juli 1882.  Setelah bebas, Sadrach kembali ke Karangjasa. Pamor dan wibawanya tak tergoyahkan.

Sadrach pergi ke Purwareja untuk meminta Wilhelm, pekabar Injil yang bersahabat dengannya saat menjadi tahanan rumah, menjadi pendeta jemaatnya. Pada 17 April 1883, Sadrach dan para sesepuh setempat serta Wilhelm secara resmi menamakan diri Golongane Wong Kristen Kang Mardika (kelompok orang Kristen yang merdeka). Karena merasa direndahkan oleh para zandeling, antara lain tak kunjung diangkat sebagai pendeta sehingga tak berhak menjalankan sakramen, sejak 1893, Sadrach memutuskan hubungan dengan mereka. Ternyata sebagian besar warga Kristen Jawa tetap setia mengikutinya. Selanjutnya sejak 1894 dia beralih ke Gereja Kerasulan, yang berpusat di Jawa Barat, dan diangkat menjadi rasul; jabatan yang dia pegang hingga meninggal pada tahun 1924.

Catatan : Dari berbagai sumber.



 

PRAKTEK-PRAKTEK KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN JAWA MARDIKA

http://sadrachkyai.blogspot.com/2010/01/13-praktek-praktek-kehidupan-jemaat.html

Sebagai Jemaat muda, maka cara-cara melaksanakan hidup kekristenan sebagai pernyataan iman mereka, tak dapat dilepaskan dari pengaruh kehidupan tradisional yang telah mengakar dalam diri mereka.

Dalam praktek-praktek jemaat ini adalah sebagai berikut:
a. Soal tempat kebaktian dan kebaktiannya.
b. Upacara Adat
c. Siasat dalam Jemaat
d. Pelayanan Sosial

A. Soal Tempat Kebaktian dan Kebaktiannya.
Bagi kelompok-kelompok yang belum ada gereja, maka kebaktian diadakan di rumah imam (Kamitua). Istilah “imam” diambil dari istilah Islam, yaitu orang yang memimpin kebaktian pada hari Jumat. Sudah menjadi kebiasaan di rumah Modin (yaitu orang yang mengurusi praktek-praktek yang berhubungan dengan agama Islam), didirikan langgar. Modin inilah biasanya menjadi imam di Masjid.

Gereja-gereja didirikan secara gotong royong dengan bentuk dan kwalitetnya sejenis dengan rumah-rumah sembahyang lainnya, yaitu Masjid. Seperti halnya di Masjid mempunyai bedug (alat bunyi-bunyian yang bisa dipakai untuk memanggil orang-orang sembahyang), demikian juga dalam gereja Sadrach. Pernah ditanyakan kepada Sadrach, mengapa memakai bedug. Jawab Sadrach, bahwa apa saja halal, asal dapat dipergunakan untuk membangun dan memanggil jemaat.

Jika mereka akan membangun Gereja yang agak besar, dirapatkan dulu di Karangjoso, untuk mendapatkan bantuan dari jemaat-jemaat lain. Mereka memandang gereja-gereja sebagaimana mereka memandang Masjid sebagai tempat sembahyang. Soal mendirikan rumah sembahyang bukanlah hal yang baru bagi masyarakat. Mereka tak pernah mengenal atau menerima bantuan luar negeri untuk mendirikan gereja.

Kebaktian dipimpin oleh tua-tua yang mereka sebut “imam”. Sebelum masuk gereja mereka mengucapkan doa dua kali, demikian : ”Ya Bapa Kami, Tuhan Kami, Kami orang berdosa, kami mohon ampun. Amin”. Doa ini adalah kebiasaan mereka pada saat itu.

Hal liturgi sudah ada ditiap kelompok, yang terdiri dari :
1. Pengakuan Iman Rasuli
2. Hukum Sepuluh dengan Matius 22 : 37-40
3. Doa syukur dan doa persembahan

Isi doa syukur sebagai berikut : “Oh Bapa kami, Putera dan Roh Kudus, mohon agar kami laki/wanita dapat tetap teguh dalam memuji kepadaMu, Oh, mudah-mudahan kami diberi kekuatan didalam memuji NamaMu, dihadiratMu, Oh Tuhan satu-satunya Bapa kami. Amin”.

Tentang nyanyian-nyanyian yang dipakai pada saat itu, yaitu dengan melodi Jawa dengan isi Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Juga doa pagi dan doa makan dinyanyikan dalam lagu Jawa. Semua itu telah disusun oleh Ds. Wilhelm. Ketika diadakan konferensi pada tahun 1885, para Zendeling membicarakan antara soal melodi barat yang harus diperkembangkan dalam kebaktian.

B. Upacara Adat

Hidup kerohanian orang Jawa erat hubungannya dengan adat. Bagi orang-orang Kristen Jawa upacara selamatan tetap ada, hanya beda cara-cara dengan yang dilakukan oleh orang-orang Jawa pada umumnya. Orang-orang Kristen tidak memakai ijab Kabul. Ijab Kabul ialah mengesahkan upacara selamatan itu dengan penyerahan makanan kepada roh-roh halus, disertai dengan membakar kemenyan untuk mohon berkat. Akan tetapi selamatan yang dilakukan orang Kristen dipimpin oleh imam. Sebelum makan bersama imam berkata (misalnya dalam upacara kandungan tujuh bulan) : “Marilah kita mulai dengan hidangan yang lezat ini sebagai ucapan terima kasih kepada Allah, karena wanita yang mengandung itu, sampai saat ini keadaannya sehat dan baik.”

Pada upacara sedekah bumi yang bertujuan mohon kesuburan tanah dan dijauhkan dari hama-hama. Orang-orang Kristen memandang upacara ini sebagai penyembahan berhala, sebab mereka mempersembahkan sajian-sajian tertentu untuk Dewi Sri dan Kala, sebelum tanam padi. Tapi bagi orang Kristen cukup mengadakan di gereja, membaca Mazmur 1 dan menyanyi Mazmur 104. Imam menjelaskan bahwa pada jaman Adam ketika ia akan mengerjakan tanah, terlebih dahulu ia mohon berkat kepada Tuhan. Sesudah kebaktian di gereja, mereka makan bersama.

Pada upacara penguburan, dipimpin oleh imam dengan membaca doa yang sudah dibuat formulirnya dengan kata-kata dalam bahasa Arab (ini dibuat oleh Sadrach) isinya sebagai berikut : “ Bagi yang meninggal dunia sudah tidak ada persoalan apa-apa untuk membujur ke arah timur, barat, selatan dan utara. Dia telah meninggal dan telah sempurna, kami berdoa kepadaMu ya Tuhan, sebagai sukma kepada sukma, kami menyerahkan keadaan orang yang meninggal ini kepadaMu, Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang menentukan Amin.” Kemudian berdoa lagi tanpa bahasa Arab, isinya : ”Oh Bapa kami, kami menyerahkan roh ini, semoga selalu ada disisiMu. Agar roh itu kembali masuk dalam kesucianMu. Agar kamipun yang masih hidup di dunia ini kelak kembali keasalnya pula. Amin.” Setelah imam menghadap keutara, ia pindah tempat menghadap ke selatan dengan membaca doa bahasa Arab dan Jawa, yang isinya : supaya badan kembali kepada tanah dan sukma kembali kepada Tuhan. Imam pindah lagi menghadap ke barat dengan doa setengah bahasa Arab dan setengah bahasa Jawa, isinya : “Ya Tuhan di surga, yang dalam hakekatnya sifatnya dan Namanya adalah kebenaran sejati sumber hidup manusia dan dunia. Dunia ini hanya sementara saja, tetapi Engkau kekal selamanya. Amin.” Akhirnya ditutup dengan doa bahasa Arab. Sesudah itu menyanyi bersama. Di rumah diadakan upacara selama tujuh hari dari hari kematian.
Sadrach mengatur upacara demikian dengan maksud menghilangkan ejekan orang Islam, yang mengatakan bahwa orang Kristen jika meninggal dunia hanya di timbun dengan tanah tanpa selamatan, seperti mengubur anjing saja.
Kebiasaan-kebiasaan yang mereka buang misalnya: pesta wayang, tayuban, ruahan (memperingati/menghormati para leluhur yang sudah mati. Ini kepercayaan asli Jawa yang oleh Islam diteruskan). 

Sudah menjadi kebiasaan orang membaca rapal (rumusan doa tertentu untuk maksud-maksud tertentu) agar tidak diganggu oleh roh yang menguasai tempat yang dituju, untuk ini Sadrach juga membuat rapal-rapal untuk orang sakit, yang disertai dengan ludah, ditiup, digosok, obat Jawa, air kencing Sadrach dan sebagainya.
Hal lain yang menarik ialah upacara baptisan anak-anak. Air baptisan diambil dari sumber mata air, diberi bunga-bunga, setelah upacara baptisan mereka berdoa dengan membakar kemenyan.

Demikianlah upacara adat masih hidup dalam hati mereka. Orang-orang Kristen tak mudah begitu saja melepaskan diri dari hal-hal tersebut. Walaupun dengan tegas orang Kristen membuang beberapa kebiasaan, tetapi masih banyak unsur-unsur kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Islam tetap hidup. Sadrach memasukkan ajaran-ajaran Kristen melalui adat kebiasaan mereka agar ajaran itu berakar dalam hati orang-orang Jawa.

C. Siasat dalam Jemaat

Setelah Wilhelm diangkat menjadi pendeta mereka, tata tertib Jemaat dapat diatur lebih luas menyangkut segala segi kehidupan Jemaat. Dalam soal-soal khusus diadakan tata-tertib untuk mengadakan kesucian gerejanya. Ini menyangkut soal siasat gereja. Banyak persoalan dari kelompok-kelompok yang berkenaan dengan hidup sehari-hari.
Dalam rapat tiap 105 hari di Karangjoso dibicarakan hal-hal ini. Isi pembicaraan antara lain : tentang orang yang ikut wayangan, tayuban, judi, mengadu jago, jinah, minum madat, pelanggaran hari Minggu, orang yang menikah Islam, beristri dua, orang yang jarang kebaktian dan sebagainya. Beberapa laporan diantaranya menyangkut hidup imam dan orang awam.

Didapati imam menari bersama dengan wanita dalam pesta tayuban. Imam ini diberhentikan dan diganti yang lain. Pada hari Minggu ada imam yang berdagang sapi. Kemudian Sadrach datang sendiri membaca : Kejadian-kejadian dan diberi peringatan. Kalau membandel dipecat. Ada lagi orang imam yang berjinah. Ia tidak boleh mengimami selama 1 tahun. Setelah kelihatan bertobat dan taat, dengan pengakuan dosa dihadapan Jemaat, ia diperbolehkan kembali sebagai imam.

Cara pengakuan dosa, dengan pertanyaan dan jawaban, disediakan air dan bunga. Air itu untuk cuci muka. Disambut nyanyian bersama dengan melodi Jawa, isinya : Yakub 5 : 8-10. Dan kemudian ia diakui kembali sebagai imam.
Ada seorang awam yang mengambil istri kedua, sebab istri pertama tak punya anak. Sebelumnya sudah dinasehati dan diperingatkan oleh imam dan saudara lainnya. Tetapi tetap membandel. Ia disiasat. Istri yang pertama diceraikan dan kawin dengan orang lain. Sebaliknya ada orang Islam yang beristri dua ingin menjadi orang Kristen. Bagi mereka tak diharuskan cerai. Mereka harus menunjukkan kasih. Anak-anaknya dibaptiskan. Tapi orang ini tak boleh menjadi imam.

Bagi orang Kristen yang tidak pergi ke gereja diberi peringatan sampai 1 tahun. Pernah ada yang dikeluarkan dari Jemaat, sebab tak ikut ambil bagian dalam sedekah bumi cara Kristen.
Demikianlah Jemaat Kristen Jawa dalam menjaga kesucian gereja. Menurut kesaksian Pemerintah, hidup kelompok orang Kristen Jawa cukup baik. Tak pernah ada yang berurusan dengan polisi. Tertib membayar pajak. Tak pernah ada pencuri atau penjahat. Mereka hidup rajin, giat bekerja dan berkelakuan baik.

D. Pelayanan Sosial
Disamping hal tersebut diatas, jemaat ini juga tak melupakan tugas sosialnya. Di rumah Sadrach banyak anak-anak terlantar diterima untuk bekerja di situ. Sadrach membeli tanah bekas tanah pabrik dengan uang pinjaman. Tanah inilah yang dikerjakan oleh mereka. Mereka bekerja sambil berguru. Dalam kumpulan tigapuluh lima hari sekali di Karangjoso orang membawa dan mengumpulkan uang untuk menolong orang miskin. Dari uang itu ada yang dipinjamkan dengan bunga sangat rendah dengan maksud untuk melawan praktek-praktek lintah darat. Pinjaman bunga hanya satu persen sebulan. Dalam enam bulan harus lunas. Mereka mendirikan semacam bank kredit. Tiap setahun menyetorkan sepuluh sen, jadi tiap bulan satu duit (duabelas duit setahun = sepuluh sen). Hal ini tak langsung diurus oleh Sadrach melainkan oleh anggotanya sendiri.

Demikianlah praktek-praktek dalam kehidupan Jemaat Kristen Jawa. Wilhelm sebagai pendeta cukup berat tugasnya. Di sini dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sebab Wilhelm harus menghadapi orang-orang Kristen dimana kepercayaannya masih campur aduk dengan adat-adat yang bertentangan dengan iman Kristen. Rupanya bagi orang Jawa, adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang itu, sukar sekali dilepaskan. Dalam hati mereka masih ada rasa takut, baik takut terhadap kekuatan magis maupun takut dikatakan orang yang tak mau hidup bermasyarakat sebab meninggalkan adat. Walaupun demikian mereka bangga dengan sebutan Kristen dengan seorang bapak Sadrach, di tengah-tengah masyarakat yang tradisinya masih kuat.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

 

Sebetulnya masih cukup banyak tulisan tentang beliau tetapi kami merasa tulisan yang ada sudah cukup mewakili untuk mengetahui semua kelebihand an kekurangan pelayanan seorang Kyai Sadrach, seorang Kyai Kristen yang sejati. Seorang anak TUHAN yang sudah TUHAN pakai dengan luar biasa untuk mengadakan banyak mukjizat pengusiran setan, kuasa gelap dll. Juga seorang pemberita injil yang berhasil menanamkan nilai dan pengetahuan tentang kekristenan di hati banyak orang Jawa Tengah

Semoga kumpulan tulisan ini bermanfaat untuk kita semua , TUHAN YESUS MEMBERKATI.